Ada suatu ilmu yang mana ilmu tersebut memang tidak pernah di ajarkan di sekolah baik sekolah formal, bahkan di sekolah ekonomi atau bisnis. Itulah ilmu pengelolaan keuangan pribadi.
Apabila kita mengucapkan hal tersebut atau lebih terkenal dengan istilah 'personal finance', banyak diantara kita yang menganggap sepele hal tersebut. "Ah... itu mah gampang", "gak perlu dipelajari" , "aku masih muda, dan orang tuaku tajir,.. ngapain juga aku repot-repot belajar personal finance", "lagian di internet banyak, tinggal aku googling".
Faktanya, banyak orang, bapak-bapak, anak muda, ibu rumah tangga, artis, bahkan profesional di bidang bisnis dan keuangan belajar tentang keuangan pribadi ini dengan cara yang menyakitkan, atau cara yang 'sulit' atau 'the hard way'. Yakni mengalami 'kesulitan ekonomi' baru mau belajar atau peduli. Ada yang mengalaminya cukup ekstrim sehingga mengubah paradigma tentang keuangan, cara mencari rejeki dan hal lain terkait ekonomi.
Belajarnya dari cara yang ga disangka-sangka. Karena selama ini menganggap diri 'invincible' atau kebal secara keuangan. "Ah...semua aman, uang ku banyak, tinggal jual asset, gesek kartu kredit". Tetapi saat benar-benar di hantam kesulitan ekonomi baru nyadar ternyata benar, roda kehidupan itu berputar. Tidak selamanya kita bisa sukses, dan aman terus secara keuangan.
Lalu seperti judul diatas, bagaimana terjadinya kemalaratan tersebut ?
Sebelumnya kita tinjau apa yang dimaksud kondisi finansial yang sehat. Kondisi keuangan yang sehat sebenarnya adalah memiliki beberapa kondisi seperti berikut berupa kondisi sehat vs tidak sehat (mulai berbahaya)
Asset dalam kondisi seimbang, meskipun secara kekayaan asset properti mencukupi, tetapi mesti juga memiliki asset yang bersifat cair memadai pula.Tidak sehat ada properti nilai tinggi, asset cair (cash, emas, yg lain yang mudah di uangkan) sedikit dan kekurangan.
Pengeluaran bulanan seluruhnya bisa ditopang oleh penghasilan atau pengeluaran disesuaikan penghasilan. Kedengaran klise tetapi ini salahsatu hal yang fundamental.Apabila memiliki gaji 5 juta sebaiknya pengeluaran dibawah itu misalnya 3 atau 4 juta. Sering terjadi, pengeluaran melebihi dari penghasilan ditutup oleh asset lain misalnya jual emas, dan ngutang. Analoginya sebuah perusahaan, analisa arus kas sebuah perushaaan (dalam laporan arus kasnya) juga bisa dilihat rahasa kesehatan perusahaan, kalo biaya-biaya masih ditutupi oleh hutang atau jual asset perusahaan, bisa mengindikasikan perusahaan ini sudah tidak sehat.
Walaupun ada yang berpendapat hutang produktif itu baik dan mesti maksimal 30% penghasilan, tetapi saran saya sebaiknya dihindari. Karena cicilan sangat berkontribusi terkait dengan terjadinya proses kemelaratan ini.
Gambar 1. Kondisi Bokek (Melarat) keluarga menengah
Dari poin diatas kondisi terjadinya kemelaratan sebuah keluarga menengah dimulai dari tidak sadarnya kondisi ini, gaya hidup kartu kredit dilaksanakan dengan penuh kepercaryaaan diri bahwa akan disiplin tiap bulan melunasi. Tawaran kartu ke-2 dan ke-3 dan peningkatan 'limit kredit' juga meningkat. Sampai pada tingkat standar hidup sudah serba kartu kredit dan KTA (kredit tanpa agunan). Pemilik kartu kredit juga akan ditawarkan berbagai pinjaman lain atas nama untuk 'renovasi rumah', 'kebutuhan liburan', dll.Karena ditawarin terus 3x sehari maka akhirnya meng"OK"kan pinjaman tersebut masuklan "Jebakan Batman"
Pada realitanya dalam beberapa kasus kemelaratan keluarga menengah hasil observasi saya, kabar buruk datang menerpa misalnya ketika ada berita buruk anda di PHK, sehingga hilang penghasilan bulanan anda, bisnis anda tiba-tiba sepi karena pandemi, begitu pula job untuk manggung untuk seorang artis. Oh tidak apa2 karena masih ada side job. Sebenarnya side job ini tidak bisa menopang arus pengeluaran anda tadi karena gaya hidup masih belum berubah. Belanja di supermarket masih dalam jumlah besar pakai kartu kredit, makan juga, ditambah masih juga beli barang-barang ngutang.
Maka mulailah yang tadinya bayar full tiap bulan disiplin, dan mulailah bayar hanya 'pembayaran minimum' dan ini semua yang paham kartu kredit tahu bahwa bencananya dimulai disini. Mulai tagihan membengkak dan semakin membengkak. Cash kurang untuk bisa menutupi karena cash yang ada perlu untuk hal kecil lainnya. Fase ini paling menyakitkan tetapi tidak banyak yang tidak menyadarinya karena fase ini adalah fase : "Kita pikir kita punya uang" dari sebelumnya "Punya Uang", sebelum ke fase terahir "Sadar aku ini ga punya uang, kekurangan arus kas dan melarat"
Ditelepon sama tukang tagih kartu kredit :"Maaf pak, bapak serius ga sih mau bayar, harus bayar lho pak". "Mbaknya ini paham ga sih, kalo ngutang ya mbok di bayar" , "Maaf bu, Ibu sudah 2 bulan tidak bayar cicilan, kami akan mengenakan sangsi, tagihan ibu tidak bisa dicicil lagi yang 20 juta ini, dan akan masuk semuanya bulan depan, dan bunga berjalan ya bu 3.5% per bulan, bunga berbunga". Meskipun begitu bahasa-bahasa penagih kartu kredit ini masih sangat sopan dibandingkan penagih pinjaman online. Kalo berniat ke pinjol, hampir sama dengan mendatangi rentenir tradisional. Pinjol ini lebih brutal dan faktanya memang membuat beberapa orang bunuh diri karena mereka . Caranya mereka masuk ke contact list lalu mulai menghubungi teman, saudara dan dengan cara-cara lebih kejam misalnya "anda kenal X, dia mau jual diri untuk lunasi hutang dia sebesar Y".
Cerita keluarga menengah tadi selanjutnya adalah horor, dia akan mulai 'mengemis' kesana kemari. Mengemisnya seorang yang tadinya berkecukupan adalah mulai pinjam ke teman, ke saudara, ngemis ke orang tua. Mulai jualin asset cair yang ternyata sedikit, dan tidak bisa menutupi hutang yang terus membengkak. Selain dihajar kartu kredit, ternyata punya cicilan lain pula misalnya cicilan mobil atau apartemen. Muilai jualin hanphone, laptop atau apapun yang bisa jadi duit.untuk bayar cicilan yang seperti tidak ada habis-habisnya. Ada mobil tetapi enggan dijual, karena gaya hidupya tidak memungkinkan turun karena kemana-mana masih harus pakai mobil, apa kata tetangga kalo kami tidak naik mobil lagi. Gaya masih keluarga menengah, tetapi hidupnya sebenarnya melarat.
Apa yang bisa disimpulkan dari cerita barusan. Pada dasarnya perusahaan kartu kredit, pemberi hutang, perbankan akan ramah sekali hormat, menyanjung anda saat anda lagi punya penghasilan, bisnis lancar. Tetapi kalo ada sudah melarat, ibarat kawan yang sudah lupa bahkan berubah 180 derajat. Anda baru belajar, ternyata lebih enak ga punya uang tapi ga punya hutang, daripada uang tanggung tetapi hutangnya segunung dan terus membengkak.
Lebih baik hidup berdasarkan kemampuan saja bukan keinginan apalagi menopang gaya hidup yang maaf hanya untuk membuat status di sosial media. Memaknai secara mendalam bahwa kalo kita mau membeli sesuatu menggunakan hutang, pada dasarnya sebenarnya kita tidak mampu membelinya. Caranya ya nabunglah dulu. Belanja sesuai isi kartu debit saja dan untuk lebih meningkatkan sensitifitas anda dalam mengeluarkan uang adalah ambil cash baru belanjakan. Pasti akan sensitif.
Bagi muslim, segera bertobat dari riba, karena ini adalah akar masalahnya. Caranya tobat dulu se tobat-tobatnya dengan tidak membuka pinjaman baru dalam bentuk apapun sampai kapanpun lagi, lalu mulai melunasinya satu persatu mulai dari pinjaman dengan bunga rolling terbesar.
Admin Belajar Ekonomi
Pembelajaran Ekonomi untuk Rakyat
Komentar